Kamis, 15 Februari 2018

Secuil Kasih Bag 1



“hai, namaku ira. Semoga kita menjadi teman baik ya”

Itu adalah kalimat pertama yang ku dengar darimu, teman yang ku kenal semenjak 7 tahun yang lalu. Ceria, adalah penilaianku yang pertama untukmu. Kebahagiaanmu terlihat natural, tidak tercium bau luka hati sedikitpun, itu juga penilaian pertamaku.

Kemudian aku tau, ada luka bersarang dalam dadamu. Luka yang dialami anak usia 10 tahun bersemi hingga usiamu dulu, 18 tahun ketika denganku. Luka, yang aku sendiripun tak mengira begitu dalam dan busuknya ia.

Ketika mulai terbuka, airmata mu tak henti mengalir dan menganak sungai di pipi gembilmu. Aku merasa kecil di sampingmu, tapi tak urung jua ku pinjamkan bahuku untukmu bersandar. Dengan tangan yang mengelus punggung kecilmu.

“sabar, ra. Allah sayang pada hamba-Nya yang penyabar” aku menangis dalam batin, tidak terkira sakit menahannya untuk tidak keluar.

“bagaimana ini, san? Ibuku akan menikah lagi. Setelah ayahku menikah, sekarang ibuku. Aku harus bagaimana? Aku ingin turut berbahagia. Tapi tidak, hati kecilku ingin orang tuaku kembali. Mengapa mereka tidak pernah memikirkan perasaanku dan adikku?” keluhmu dengan isak yang tak juga kunjung reda.

“ma’af ira, Allah memang membenci perceraian tapi jika bertahan membuat mereka sama-sama terluka, bagaimana lagi? Aku tau, mereka egois karena tidak memikirkan perasaanmu. Ma’afkan aku ra, aku tidak bisa mengerti perasaanmu” aku memeluknya dan ikut terisak.

Berat nian cobaannya. Dari di singkirkan dengan diminta sekolah jauh dari rumahnya, tinggal bersama paman dan bibi yang membenci dan menganggapnya pembantu, sekolah berjalan kaki dengan jarak sekitar 6 Km dari rumah yang ia tempati.

Dulu, ketika ia dirumah pun, ibunya lebih menyayangi adiknya. Yang memang ku akui, adiknya dari segi fisik lebih segalanya. Uang tidak pernah ia terima dengan Cuma-Cuma, harus ada pekerjaan yang ia ambil untuk mendapatkan uang. Ketika tinggal bersama paman dan bibinya juga pun dia diharuskan bekerja, menjaga toko milik keduanya.

Aku tau rasanya, karena aku juga pernah turut bekerja di toko mereka. Makan di jatah dua kali sehari, diberi tanggung jawab besar. Kami menjaga toko, paman dan bibinya pergi jalan-jalan. Dibayar dengan pulsa. Diberi uang saku seadanya. Aku miris melihatnya. Karena itu, dari pertama aku tau lukanya aku bertekad tidak akan meninggalkannya, dan akan mencari jalan keluar untuk semua masalahnya.

“ra, kita berangkat bareng ya” kala itu aku dan dia menduduki kelas X semester II. Iya, aku sudah tau tentang lukanya.

“tapi, aku jalan kaki, san. Kamu ga sama susi? Dia kan pakai motor?” dia menjawab sekaligus bertanya padaku.

“aku pengen bareng kamu, sehat jalan kaki,kan hehehe” aku menghubungi lewat SMS (Short Message Service). Dulu itu, hape sama-sama jadulnya. Sama-sama Hape Nokia klunting (sebutan hape yang Cuma punya senter hehe), biarlah jadul toh untuk berkomunikasi lancar, betul tidak? Hehe
Alasan paling masuk akal adalah, aku tidak ingin dia merasa sendiri. Aku ingin dia tetap semangat untuk hidup dan menjalani kehidupan sekarang. Berkali-kali aku katakan padanya “Tidak ada kebahagiaan, sebelum kamu menelan Kesengsaraan” aku berusaha menguatkan hatinya.

Pasca pernikahan ayahnya, ia bertambah kecil dan kurus. Aku yakin, makannya tidak teratur. Ayah adalah satu-satunya orang yang masih mengingat dia, semenjak perceraian keduanya. Ayah, masih ingat untuk mengirim uang untuk pendidikan dia. Setelah ayahnya menikah, aku tau hidupnya semakin berat. Oleh karena itu, uang yang ku dapat dari orang tuaku setelah semua terpenuhi aku menyisihkan untuk kita jajan bersama di akhir bulan. Dia berusaha tegar, dan tidak mau terlihat lemah. Oleh karena itu, aku tidak ingin terlihat mengasihaninya.

Aku mengajak dia untuk hidup berdua, kost bersama aku. Yang suatu hari akhirnya terkabul. Kelas XII, ternyata ladang uang bagiku dan ia. Aku membuka jasa layanan, pembuatan kliping, makalah, dan laporan untuk adik-adik tingkat dan teman sebaya.

Aku dan dia, rela menghabiskan waktu di kost untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut agar setiap hari bisa makan. Kami melewati hari-hari bersama, dengan banyak canda-tangis dan tawa. Juga cinta. Aku ikut berbahagia, ketika ia bahagia. Menemukan seseorang yang katanya tidak memandang sebelah mata tentangnya, yang katanya mencintai dengan tulus. Aku tetap mengingatkan untuk berhati-hati dan tidak bersikap berlebihan terhadap pria itu.

Aku kecolongan. Dia terjatuh, teramat dalam pada pesona pria itu. Dan yang ku temukan, dia menangis lagi. Allah, betapa umur kebahagiaan yang ia dapat teramat singkat. Dia dan pria itu sudah bertemu ibunya dia (ira). Sudah berjanji untuk serius. Tapi yang ku temukan kemudian hari adalah pria itu berkhianat. Kembali, aku elus pinggang kecilnya dan meminjamkan bahuku untukmu.

“sabar, ira. Allah menjanjikan yang terbaik untukmu. Dia bukan jodoh kamu.” Kataku lembut

“aku tidak menyangka san, aku sudah benar-benar mencintainya. Terlalu dalam,san. Aku benar mengira kami akan bersatu.”

Ini adalah tangis ke sekian kalinya, dulu dia pernah menangis karena tidak bisa pergi Prakerin (Praktek Kerja Industri) bersamaku, dulu dia pernah menangis karena tidak bisa pergi ikut kemah bersamaku, dan lain sebagainya.
Aku sendiri baru menyadari, ada begitu banyak tangisannya untukku.


Bagian 2 coming soon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KESEHARIAN SATU

Assalamu'alaikum... Halooooo... selamat malam, hehe semoga semua dalam keadaan bahagia saat membaca ini. kali ini aku pengen cerita kehi...