“hai, namaku ira. Semoga kita menjadi teman baik ya”
Itu adalah kalimat pertama yang ku dengar darimu, teman yang
ku kenal semenjak 7 tahun yang lalu. Ceria, adalah penilaianku yang pertama
untukmu. Kebahagiaanmu terlihat natural, tidak tercium bau luka hati
sedikitpun, itu juga penilaian pertamaku.
Kemudian aku tau, ada luka bersarang dalam dadamu. Luka yang
dialami anak usia 10 tahun bersemi hingga usiamu dulu, 18 tahun ketika
denganku. Luka, yang aku sendiripun tak mengira begitu dalam dan busuknya ia.
Ketika mulai terbuka, airmata mu tak henti mengalir dan
menganak sungai di pipi gembilmu. Aku merasa kecil di sampingmu, tapi tak urung
jua ku pinjamkan bahuku untukmu bersandar. Dengan tangan yang mengelus punggung
kecilmu.
“sabar, ra. Allah sayang pada hamba-Nya yang penyabar” aku
menangis dalam batin, tidak terkira sakit menahannya untuk tidak keluar.
“bagaimana ini, san? Ibuku akan menikah lagi. Setelah ayahku
menikah, sekarang ibuku. Aku harus bagaimana? Aku ingin turut berbahagia. Tapi
tidak, hati kecilku ingin orang tuaku kembali. Mengapa mereka tidak pernah
memikirkan perasaanku dan adikku?” keluhmu dengan isak yang tak juga kunjung
reda.
“ma’af ira, Allah memang membenci perceraian tapi jika
bertahan membuat mereka sama-sama terluka, bagaimana lagi? Aku tau, mereka
egois karena tidak memikirkan perasaanmu. Ma’afkan aku ra, aku tidak bisa
mengerti perasaanmu” aku memeluknya dan ikut terisak.
Berat nian cobaannya. Dari di singkirkan dengan diminta
sekolah jauh dari rumahnya, tinggal bersama paman dan bibi yang membenci dan
menganggapnya pembantu, sekolah berjalan kaki dengan jarak sekitar 6 Km dari
rumah yang ia tempati.
Dulu, ketika ia dirumah pun, ibunya lebih menyayangi
adiknya. Yang memang ku akui, adiknya dari segi fisik lebih segalanya. Uang
tidak pernah ia terima dengan Cuma-Cuma, harus ada pekerjaan yang ia ambil
untuk mendapatkan uang. Ketika tinggal bersama paman dan bibinya juga pun dia
diharuskan bekerja, menjaga toko milik keduanya.
Aku tau rasanya, karena aku juga pernah turut bekerja di
toko mereka. Makan di jatah dua kali sehari, diberi tanggung jawab besar. Kami
menjaga toko, paman dan bibinya pergi jalan-jalan. Dibayar dengan pulsa. Diberi
uang saku seadanya. Aku miris melihatnya. Karena itu, dari pertama aku tau lukanya
aku bertekad tidak akan meninggalkannya, dan akan mencari jalan keluar untuk
semua masalahnya.
“ra, kita berangkat bareng ya” kala itu aku dan dia
menduduki kelas X semester II. Iya, aku sudah tau tentang lukanya.
“tapi, aku jalan kaki, san. Kamu ga sama susi? Dia kan pakai
motor?” dia menjawab sekaligus bertanya padaku.
“aku pengen bareng kamu, sehat jalan kaki,kan hehehe” aku
menghubungi lewat SMS (Short Message Service). Dulu itu, hape sama-sama
jadulnya. Sama-sama Hape Nokia klunting (sebutan hape yang Cuma punya senter
hehe), biarlah jadul toh untuk berkomunikasi lancar, betul tidak? Hehe
Alasan paling masuk akal adalah, aku tidak ingin dia merasa
sendiri. Aku ingin dia tetap semangat untuk hidup dan menjalani kehidupan
sekarang. Berkali-kali aku katakan padanya “Tidak ada kebahagiaan, sebelum kamu
menelan Kesengsaraan” aku berusaha menguatkan hatinya.
Pasca pernikahan ayahnya, ia bertambah kecil dan kurus. Aku
yakin, makannya tidak teratur. Ayah adalah satu-satunya orang yang masih
mengingat dia, semenjak perceraian keduanya. Ayah, masih ingat untuk mengirim
uang untuk pendidikan dia. Setelah ayahnya menikah, aku tau hidupnya semakin
berat. Oleh karena itu, uang yang ku dapat dari orang tuaku setelah semua
terpenuhi aku menyisihkan untuk kita jajan bersama di akhir bulan. Dia berusaha
tegar, dan tidak mau terlihat lemah. Oleh karena itu, aku tidak ingin terlihat
mengasihaninya.
Aku mengajak dia untuk hidup berdua, kost bersama aku. Yang
suatu hari akhirnya terkabul. Kelas XII, ternyata ladang uang bagiku dan ia.
Aku membuka jasa layanan, pembuatan kliping, makalah, dan laporan untuk
adik-adik tingkat dan teman sebaya.
Aku dan dia, rela menghabiskan waktu di kost untuk
mengerjakan tugas-tugas tersebut agar setiap hari bisa makan. Kami melewati
hari-hari bersama, dengan banyak canda-tangis dan tawa. Juga cinta. Aku ikut
berbahagia, ketika ia bahagia. Menemukan seseorang yang katanya tidak memandang
sebelah mata tentangnya, yang katanya mencintai dengan tulus. Aku tetap
mengingatkan untuk berhati-hati dan tidak bersikap berlebihan terhadap pria
itu.
Aku kecolongan. Dia terjatuh, teramat dalam pada pesona pria
itu. Dan yang ku temukan, dia menangis lagi. Allah, betapa umur kebahagiaan
yang ia dapat teramat singkat. Dia dan pria itu sudah bertemu ibunya dia (ira).
Sudah berjanji untuk serius. Tapi yang ku temukan kemudian hari adalah pria itu
berkhianat. Kembali, aku elus pinggang kecilnya dan meminjamkan bahuku untukmu.
“sabar, ira. Allah menjanjikan yang terbaik untukmu. Dia
bukan jodoh kamu.” Kataku lembut
“aku tidak menyangka san, aku sudah benar-benar
mencintainya. Terlalu dalam,san. Aku benar mengira kami akan bersatu.”
Ini adalah tangis ke sekian kalinya, dulu dia pernah
menangis karena tidak bisa pergi Prakerin (Praktek Kerja Industri) bersamaku,
dulu dia pernah menangis karena tidak bisa pergi ikut kemah bersamaku, dan lain
sebagainya.
Aku sendiri baru menyadari, ada begitu banyak tangisannya
untukku.
Bagian 2 coming soon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar